Saya yakin, masyarakat industri kita pernah mendengar kata JIT. Malah, sebagian sudah paham maknanya sehingga sangat bersemangat untuk menerapkannya.Seperti konsep manajemen Jepang pada umumnya, JIT tercipta melalui proses yang sangat panjang, hampir sepanjang sejarah kebangkitan industri otomotif di Jepang. Ditempat asalnya, Toyota, ia begitu mengakar dalam keseluruhan sistem, para karyawan begitu menghayati filosofinya, begitu juga dengan para stake holder lainnya. Budaya “bottom up” yang mendasari filosofi kerjanya juga sangat relevan dengan budaya bangsa Jepang. Para pekerja, disemua level, turut berpartisipasi dalam rangka mendukung tujuan utama perusahaan ; mengeliminasi pemborosan. JIT telah menjadi tool yang sangat ampuh dalam  meningkatkan efisiensi perusahaan.

 

[ARTICLE 2] JUST IN TIME

Yang seringkali lepas dari pengamatan kita, JIT sebenarnya mengasumsikanlingkungan yang stabil, baik lingkungan internal (sistem produksi , mesin produksi,kwalitas) maupun external (kehandalan supplier, market). Dengan penerapan sistem tarik (Pull System) maka stock raw material dan WIP/work in process dirancang  sekecil mungkin (ingat! bukan nol) . Resiko yang terjadi adalah sistem yang vulnerable apabila terjadi gangguan terhadap salah satu komponen internal maupun external diatas. Jika terjadi permasalahan kwalitas maka akan sangat mungkin terjadi delivery failure. Demikian juga jika terjadi keterlambatan supply, maka sistem akan terhenti kerena material shortage. Untuk mengantisipasi masalah tersebut, si empunya JIT sudah men set up sistem sedemikian rupa, misalnya dengan menetapkan supplier yang lokasinya relatif dekat, menjaga kwalitas produksi hingga pada level error proofing, menjaga kehandalan mesin produksi dengan metode TPM, serta meningkatkan partisipasi karyawan pada semua level. Hasilnya, asumsi lingkungan yang stabil dapat mereka penuhi.

Lalu, bagaimana kita mesti bersikap? Kita perlu memahami situasi internal dan external yang terkait dengan industri yang kita geluti. Kita perlu memperhitungkan cost & benefit dalam menerapkan JIT. Trade off yang mungkin  terjadi adalah keterlambatan delivery vs peningkatan stock level,keterlambatan supply vs buffer stock, ataupun cost of achieving good quality vs cost of poor quality. Apapun masalahnya, kita perlu bersikap jernih sebelum memutuskan menerapkan JIT. Tanpa persiapan infrastruktur yang memadai, menerapkan JIT secara serta merta dapat menjadi bumerang bagi kinerja perusahaan.

Saya menyarankan, apabila kita tidak mungkin menerapkan JIT secara murni, maka ada beberapa filosofi mendasar yang dapat kita adopsi ;

  1. Inventory adalah pemborosan. Artinya kita harus merencanakan jenis dan jumlah inventory seminimum mungkin. Kita perlu membuang pemikiran bahwa inventory adalah aset untuk menyelamatkan delivery. Walaupun hal tersebut dapat diterima dalam beberapa kasus (misal karena permintaan customer yang sulit dikendalikan) namun janganlah dibuat alasan untuk menutupi permasalahan karyawan yang tidak disiplin, mesin produksi yang kurang terawat, ataupun karena ketidak mampuan membuat perencanaan inventory yang baik.
  2. Built in Quality.Artinya kwalitas harus dibangun dari sumbernya. Janganlah mencoba memperbaiki kwalitas dengan menambah jumlah personil QC (quality control). Jika tanpa disertai dengan peningkatan kemampuan proses (Process Capability) , hal tersebut hanya akan menambah pemborosan.
  3. Partisipasi karyawan. Permodelan yang umum adalah dibentuknya small group sebagai wadah partisipasi karyawan dalam mendukung program yang dicanangkan, misalnya 5S, Kaizen, QCC ataupun TPM. Perusahaan harus memberi ruang dan waktu yang memadai kepada karyawan agar dapat berpartisipasi dalam meningkatkan kinerja perusahaan.

Saran saya bagi yang belum menerapkan JIT, pertimbangkanlah untuk menerapkannya dengan cara mengadopsi dasar pemikirannya terlebih dahulu, bukan langsung pada penerapan sistem manajemennya. Selamat mencoba!

 

Oleh :
Ir.Dwi Andi Handaya Rusman,M.Sc
Founder & CEO
PT Advis Consulting Indonesia

 

Share This